BANDA ACEH – Satu-satunya bakal calon wakil gubernur Aceh dari kalangan perempuan Prof Adjunct Dr Marniati MKes memaparkan visi dan misinya di hadapan elite Partai Aceh (PA) di aula Keumala Hotel, Banda Aceh, Sabtu (27/7/024).
Prof Adjunct Dr Marniati yang merupakan pengusaha dan juga akademisi tersebut dalam visi misinya menjanjikan pembukaan industri baru di Aceh.
“Kami akan menghadirkan 21 industri baru, menekankan pertumbuhan ekonomi berbasis Sumber Daya Alam,” kata Marniati saat memaparkan visi dan misinya.
Prof Adjunct Dr Marniati tidak hanya berfokus perihal ekonomi, wanita yang juga merupakan Rektor Universitas Ubudiyah itu bertekad untuk menciptakan pemerintahan Aceh yang baik dan bersih melalui ide reformasi birokrasi.
“Kita butuh cara kerja yang baru seperti sistem kerja sentralisasi dan digitalisasi.,” ujarnya.
Di tengah minimnya kaum perempuan yang sadar politik, Marniati hadir dan maju memberikan harapan untuk menyuarakan suara-suara perempuan yang butuh perubahan Aceh ke arah yang lebih baik. Ia juga mendesak PA untuk dapat menjadi wadah bagi kemajuan para perempuan Aceh.
“Partai harus membuka pintu lebar-lebar bagi kepemimpinan perempuan,” cetusnya.
Selain memaparkan visi misi, Prof Adjunct Dr Marniati juga menjalani uji baca Alqur’an.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) semakin dekat. Menurut Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024 pemungutan suara Pilkada 2024 akan dilaksanakan pada 27 November 2024 untuk memilih gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota.
Minimnya kalangan perempuan yang maju di kancah Pilkada 2024 menjadi perhatian serius dari Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Aceh.
Ketua KPPI Aceh Hj Ismaniar mengatakan semua partai politik harus memberi ruang kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam Pilkada dengan menempatkan mereka sebagai kelompok yang potensial untuk diusung sebagai bakal calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah dari semua tingkatan pemilihan.
Khususnya kepada Partai Aceh yang merupakan partai mayoritas meraih kursi di DPRA pada Pileg 2024, harus memberi perhatian khusus kepada kalangan perempuan pada Pilkada 2024.
Lebih jauh, Ismaniar menyarankan agar partai lokal tersebut mempertimbangkan calon perempuan sebagai pasangan Muzakir Manaf, atau akrab disapa Mualem, dalam pemilihan kepala daerah mendatang.
"Partai Aceh seharusnya menjadi pelopor kesetaraan gender dalam politik, dan menempatkan kelompok perempuan sebagai entitas yang potensial untuk diusung dalam Pilkada 2024," ujarnya, Senin (29/7/2024).
Politikus perempuan asal Aceh Tengah ini yakin nama Prof Adjunct Dr Marniati sebagai kandidat potensial. Menurutnya, Marniati memiliki kapasitas, kemampuan finansial, dan dukungan luas yang memadai untuk mendampingi Mualem.
"Prof Marniati bukan sekadar simbol. Beliau punya kompetensi dan jaringan yang kuat," katanya.
Menurutnya munculnya nama Prof Adjunct Dr Marniati di kancah Pilkada Aceh bukan hanya sebagai pemenuhan dari keterwakilan perempuan. Namun lebih dari itu, Prof Adjunct Dr Marniati diyakini punya impian besar dan bercita-cita ingin membawa Aceh ke arah yang lebih baik sebagaimana yang telah ia jabarkan dalam visi dan misinya saat mendaftar pada Partai Gerindra.
Sementara itu Tokoh Perempuan Aceh yang juga politikus senior Dra Hj Zulhafah MSi mengatakan semua partai politik harus memberi ruang yang sama antara laki-laki dan wanita dalam mendapat hak politiknya.
Dia sebutkan dalam literatur sejarah, Aceh memiliki banyak tokoh perempuan yang menjadi pemimpin. Baik di level pemerintahan, militer maupun menjadi panglima perang di medan pertempuran seperti halnya Laksamana Malahayati yang memimpin Laskar Inoeng Balee.
"Perempuan Aceh punya sifat kepemimpinan dan tidak kalah dengan laki-laki, satu lagi terbukti perempuan Aceh tidak plin plan dalam mengambil keputusan dan ini jelas kalau perempuan Aceh juga bisa tegas,” ungkap Zulhafah, Senin (29/07/24).
Zulhafah juga menjelaskan terkait adanya anggapan bahwa perempuan tidak boleh menjadi kepala daerah, menurutnya anggapan itu selalu muncul di saat mau Pilkada. Fenomena ini dinilai sangat kasuistik dan insidental, yang hanya diembuskan oleh oknum yang didomplengi oleh kepentingan tertentu untuk menciptakan image negatif bagi lawan politik di tengah isu Pilkada.
“Coba perhatikan dalam-dalam makna dari larangan tersebut, perempuan boleh menjadi pemimpin kalau pemimpin dari kaum laki-laki tidak amanah sebagai seorang pemimpin. Tapi yang harus di pahami bahwa kodrat perempuan tetaplah sebagai perempuan yang taat pada suaminya walaupun dia seorang pemimpin publik,” sebut Zulhafah.(*)