-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

KPPI Aceh: Semua Parpol Harus Beri Ruang Perempuan Berpartisipasi dalam Pilkada, Tepis Isu tak Boleh jadi Pemimpin

Rabu, 31 Juli 2024 | 02.21 WIB | Last Updated 2024-07-31T09:21:11Z

BANDA ACEH - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) semakin dekat. Menurut Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024 pemungutan suara Pilkada 2024 akan dilaksanakan pada 27 November 2024 untuk memilih gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota.

Meskipun hanya tinggal beberapa bulan lagi, namun dinamika Pilkada di Aceh kian terasa dengan munculnya bakal calon yang diusung oleh partai politik. Termasuk mereka bakal calon dari kalangan perempuan, yang memang untuk Pilkada 2024 terbilang sangat minim jumlahnya. 
Misalkan untuk level pemilihan gubernur/wakil gubernur, hanya Prof Adjunct Dr Marniati MKes yang resmi mendaftar melalui Partai Gerindra Aceh. Rektor Universitas Ubudiyah Indonesia (UUI) itu mendaftar sebagai bakal calon wakil gubernur Aceh pada 24 Mei 2024.
Minimnya kalangan perempuan yang maju di kancah Pilkada 2024 menjadi perhatian serius dari Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Aceh. 

Ketua KPPI Aceh Hj Ismaniar mengatakan semua partai politik harus memberi ruang kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam Pilkada dengan menempatkan mereka sebagai kelompok yang potensial untuk diusung sebagai bakal calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah dari semua tingkatan pemilihan. 

Khususnya kepada Partai Aceh yang merupakan partai mayoritas meraih kursi di DPRA pada Pileg 2024, harus memberi perhatian khusus kepada kalangan perempuan pada Pilkada 2024.
Lebih jauh, Ismaniar menyarankan agar partai lokal tersebut mempertimbangkan calon perempuan sebagai pasangan Muzakir Manaf, atau akrab disapa Mualem, dalam pemilihan kepala daerah mendatang. 

"Partai Aceh seharusnya menjadi pelopor kesetaraan gender dalam politik, dan menempatkan kelompok perempuan sebagai entitas yang potensial untuk diusung dalam Pilkada 2024," ujarnya, Senin (29/7/2024).

Ismania memberi apresiasi atas kebulatan tekad Prof Marniati yang maju di pentas demokrasi Pilkada 2024 sebagai bakal calon wakil gubernur melalui Partai Gerindra Aceh.

Sebagai bagian dari keterwakilan perempuan, dirinya menaruh harapan besar agar Prof Marniati dapat menjadi simbol perjuangan wanita Aceh dalam meningkatkan harkat dan martabatnya.
Politikus perempuan asal Aceh Tengah ini yakin nama Prof Adjunct Dr Marniati sebagai kandidat potensial. Menurutnya, Marniati memiliki kapasitas, kemampuan finansial, dan dukungan luas yang memadai untuk mendampingi Mualem. 
"Prof Marniati bukan sekadar simbol. Beliau punya kompetensi dan jaringan yang kuat," katanya. 

Menurutnya munculnya nama Prof Adjunct Dr Marniati di kancah Pilkada Aceh bukan hanya sebagai pemenuhan dari keterwakilan perempuan. Namun lebih dari itu, Prof Adjunct Dr Marniati diyakini punya impian besar dan bercita-cita ingin membawa Aceh ke arah yang lebih baik sebagaimana yang telah ia jabarkan dalam visi dan misinya saat mendaftar pada Partai Gerindra. 

"Suara perempuan Aceh bisa menjadi penentu. Partai Aceh, terutama Mualem, perlu mempertimbangkan hal ini dengan serius," tegasnya. 
Ismaniar menekankan pentingnya memberikan kepercayaan dan kesempatan yang setara antara perempuan dan laki-laki dalam politik Aceh. 

"Kami menilai bahwa memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dalam politik adalah langkah maju yang harus diambil," tambah Ismaniar. 

Isu pemimpin perempuan
Sementara itu Tokoh Perempuan Aceh yang juga politikus senior Dra Hj Zulhafah MSi mengatakan semua partai politik harus memberi ruang yang sama antara laki-laki dan wanita dalam mendapat hak politiknya. 

Dia sebutkan dalam literatur sejarah, Aceh memiliki banyak tokoh perempuan yang menjadi pemimpin. Baik di level pemerintahan, militer maupun menjadi panglima perang di medan pertempuran seperti halnya Laksamana Malahayati yang memimpin Laskar Inoeng Balee. 
"Perempuan Aceh punya sifat kepemimpinan dan tidak kalah dengan laki-laki, satu lagi terbukti perempuan Aceh tidak plin plan dalam mengambil keputusan dan ini jelas kalau perempuan Aceh juga bisa tegas,” ungkap Zulhafah, Senin (29/07/24). 

Disebutkan, fakta sejarah Aceh yang menempatkan perempuan sebagai pemimpin masih sangat kontekstual dengan perkembangan zaman. Artinya, wanita menjadi pemimpin menjadi satu keniscayaan di tengah dominasi kaum lelaki yang terkadang sulit memahami kebutuhan hidup wanita. 

Zulhafah menjelaskan terkait adanya anggapan bahwa perempuan tidak boleh menjadi kepala daerah, menurutnya anggapan itu selalu muncul di saat mau Pilkada. Fenomena ini dinilai sangat kasuistik dan insidental, yang hanya diembuskan oleh oknum yang didomplengi oleh kepentingan tertentu untuk menciptakan image negatif bagi lawan politik di tengah isu Pilkada. 

“Coba perhatikan dalam-dalam makna dari larangan tersebut, perempuan boleh menjadi pemimpin kalau pemimpin dari kaum laki-laki tidak amanah sebagai seorang pemimpin,” sebutnya. 

Dia mencontohkan dalam Alquran Surah An-Naml ayat: 23 dijelaskan tentang kepemimpinan Ratu Balqis yang memimpin kerajaan Saba’ (Yaman) pada masa Nabi Sulaiman AS yang merupakan salah satu contoh bahwa Islam tidak melarang perempuan untuk mengambil peran menjadi seorang pemimpin dalam sebuah komunitas publik. 

“Tapi yang harus di pahami bahwa kodrat perempuan tetaplah sebagai perempuan yang taat pada suaminya walaupun dia seorang pemimpin publik,” kata Zulhafah.(*)
close